Lose Navigation Part III (26-04-10 “ Tuhan… Seharusnya aku yang tidak lulus, bukan dia “ II)
sumber gambar : google & edit |
“
aku luluuuuuuuuuuuuuussss ,” mendengar temanku teriak lulus,
aku semakin tidak berani membuka amplop punya ku, “ Tuhan ini tidak adil, ibuuuuuuuuuuuuuuuuuuu, ini tidak adil, ini tidak adil “. Jeritan tangisan yang histeris
itu menggodaku untuk mendekatinya, astaghfirullah dia Vivie teman kami, aku
merampas kertas ditangannya, aku baca “ TIDAK LULUS “.
Masa depan kami ditentukan oleh
tulisan di atas kertas, apakah kami dilahirkan oleh kertas ? bukan dari seorang
ibu ?, dalam melangkah pun kami di atur oleh kertas, ini tidak adil,
tidaaaaaaaaaaaaaaaakkk.
Dia anak yang baik, teladan,
rajin dan tekun. Kelulusan ini adalah nasib- nasiban, ya benar, karena yang
menentukan kami lulus atau tidak adalah sistem asing yang bajingan itu,
komputer. Aku sedih, negaraku dijajah oleh sistem asing, rakyatnya pun dijadikan agen, sayang kita semua menyukai dan
bermain dalan sistem yang biadab itu. Aku tidak sadar mengeluarkan kata-kata
yang tidak bermutu.
Aku pun memisahkan diri dari
kerumunan umat yang sedang menghibur umat yang mendapat malapetaka yang tak
akan pernah ia lupakan sepanjang hidupnya. Aku menyendiri, perlahan aku buka
amplop punya ku “ LULUS “ aku menangis, “
tuhan, kenapa bukan aku yang mendapatkan amplop dia, seharusnya dia yang berhak
mendapat amplop ku ini ,“ hari itu
aku merasakan sistem dunia yang tidak adil, aku teringat betapa jahatnya aku
sewaktu sekolah, sikap yang tak beradab, cabut, telat kesekolah, tidak
berseragam yang rapi, tidak pernah membawa buku, tidak pernah peduli guru
didepan kelas menjelaskan pelajaran, tidak pernah ngumpulin tugas, “ tuhaaaaaaaaaaaaaaaaannnnn, aku yang
seharusnya tidak lulus, bukan dia “ aku marah pada diriku sendiri, sungguh,
aku gak kuat melihat vivie merasakan penderitaan itu.
Sistem dunia ini buta, tidak
membenarkan yang benar. Siapa yang memperkenalkan sistem asing itu dinegara
kita, datangi ia padaku sekarang juga ?, kekesalan ku semakin menciptakan kata
yang tak tertata, lidah yang tak terjaga.
Tersentak aku kaget, kerumunan
tadi menghilang, kemana mereka. Aku bergegas mencari tahu, ternyata mereka
dikantor kepala sekolah, Vivie pingsan. Melihat kejadian itu, aku pun tidak
berhenti dan semakin menyalahkan diriku sendiri, dia tidak pantas menerima
kenyataan ini, seharusnya itu aku.
Semua murid kelas XII dikumpulkan
lagi sore itu. Anak-anak ku semua, bla bla bla bla bla dan kami mengucapkan
selamat kepada Salend yang mendapat urutan pertama nilai tertinggi, dan kepada
. . . . . mataku berlinangkan air mata,
hanya samar-samar aku mendengar pidato itu, dan kepadaa Chaca urutan kedua
nilai yang tertinggi.
Aku tidak percaya, dan perkataan
itu di ulangi sampai tiga kali. Mendengar nama ku yang disebut, aku semakin
marah dan menyesal kepada diriku sendiri “
Tuhan,itu bukan namaku, itu bukan untukku, itu untuk vivie, nama vivie “ ,
aku yakin, pak presiden pasti salah orang, pasti salah membaca.
Sore pun meniup peluitnya,
pertanda tugasnya selesai, disambut oleh malam. Kami pulang kerumah
masing-masing, ternyata iboy sudah menunggu ku dari tadi depan gerbang sekolah “ yc, tim iboy menaaang, yc lulus ga ? ,“
aku melihat wajah kegembiraan itu
diraut wajah iboy, sedangkan aku sendiri antara senang dan sedih yang ku rasa,
ku hanya bisa tersenyum menjawab pertanyaan iboy, dan kuserahkan amplop
ditanganku kepada iboy, “ yc lulus,
terimakasih ya allah, tim ku menang dan cewekku lulus ,“ aku tidak bisa
merasakan kegembiraan seperti yang dirasakan iboy saat itu dengan sepenuhnya.
Kesedihan dan kekesalan ku selalu
membayangiku setiap jam, menit, dan detik. Malamnya aku didatangi teman-temanku
dirumah, mereka mengajak ketempat kediaman vivie, disana seperti orang yang
berbesuk, silih berganti ada yang keluar, ada yang masuk. Simpati dari
teman-teman selalu berdatangan menghibur vivie, aku masuk kekamar menghampiri
vivie , sejak kejadian itu vivie tidak pernah keluar kamar, tidak mau makan,
aku semakin tersiksa melihat penderitaannya, aku adalah orang yang paling
berdosa di atas penderitaaan vivie. Kesedihanku semakin tak bisa dibendung.
Dua hari kemudian, kami mendapat
kabar yang baik, adanya ujian susulan, dukungan dari berbagai pihak pun
membanjiri vivie.
Seiring berjalannya waktu semua
kembali normal. Aku pun menyimpan kekesalan dan kesedihanku, aku juga gak tahu
kapan aku membutuhnya lagi.
Bersambung….
write by : Annisa
No comments:
Post a Comment